Fellow 2012: Paris Sembiring - Indonesia Bangsa Pembaharu
Headlines News :






Subscribe me

Subscribe via RSS Feed If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.

Monday 17 December 2012

Fellow 2012: Paris Sembiring


SMP, Paris Sembiring (45) tak lulus. Mulai dari buruh, loper koran, petani sampai tukang becak, pernah dia jalani. Namun, keisengannya mengumpulkan buah mahoni sembari menunggu penumpang becaknya puluhan tahun lalu berbuah manis. Kini, dia salah satu peraih penghargaan Kalpataru 2003 kategori Pembina Lingkungan. Pemerintah menghargai usahanya memelopori pelestarian lingkungan hidup di Medan dan sekitarnya. 

Apa yang membuat Anda memperoleh penghargaan Kalpataru? Entah, ya. Selama ini, saya ikhlas bekerja, ngasih bibit gratis dan pelatihan pada yang membutuhkan. Tapi rupanya saya dianggap sebagai pembina lingkungan hidup yang siap memberi informasi tentang melestarikan lingkungan pada masyarakat.

Bagaimana mulanya Anda tertarik pada lingkungan? Saya kerap berteduh di bawah pohon mahoni yang memang banyak tumbuh di sejumlah ruas jalan di Medan, seperti Jl. Sudirman, J. S. Parman. Pokoknya, tempat becak saya mangkal. Dari tahun 1978 - 1982, saya memang penarik becak. Sambil menunggu penumpang, saya rajin mengutip buah dan biji mahoni yang jatuh. Lalu, saya bawa pulang ke rumah kontrakan untuk disemaikan jadi bibit.

Bibit itu bisa berkembang? Ya. Lalu, saya bagikan ke tetangga. Mau ditanam di pekarangan atau kebun, terserah mereka. Lama-kelamaan, bukan cuma mahoni yang saya bibitkan, tapi juga meranti dan beringin yang bisa hidup di daerah bebatuan.

Anda mengambil bibit dari mana saja? Sebagian bibit saya kumpulkan dari hutan, tapi ada juga yang diberi kenalan saya.
Kegiatan mengutip buah mahoni ini terhenti sejak Paris tak lagi menarik becak. Pekerjaan ini dia tinggalkan karena pada 1981 Pemkot Medan melarang becak memasuki tengah kota. Sebagai gantinya, dia buka warung kopi di kawasan Padang Bulan, Medan.

KLIK - DetailSukseskah usaha warung kopi Anda itu? Tidak, mungkin rezeki saya bukan di situ. Tapi, dari pekerjaan itu, saya punya hikmah lagi. Kalau sedang tak ada pembeli, saya selalu berkebun. Sepetak tanah di belakang rumah kontrakan jadi tempat menyalurkan hobi berkebun. Sejak kecil, saya memang cinta tumbuhan. Usaha warung itu sendiri cuma bertahan setahun. Setelah menikah pada 1983, saya pulang kampung . Saya ingin mengolah lahan milik orang tua.

Apa yang terjadi? Awal menuai, tak semulus yang diharapkan. Ternyata, jadi petani itu sangat memprihatinkan. Pendapatan pas-pasan. Yang paling sulit, waktu keluarga sakit karena biaya berobat sangat mahal. Tapi justru itu yang mendorong saya kerja lebih keras lagi, meskipun, kegagalan masih harus saya hadapi.

Saya makin semangat saat teringat nasihat orang tua yang bilang bahwa manusia hanya bisa menabur dan Tuhanlah yang menentukan hasil tuaian. Nasihat itu yang sampai kini terus mendorong hidup saya. Saat itu, saya terpikir untuk membuat penangkaran benih. Saya mulai dari beberapa jenis bibit. Tak disangka, jumlah bibit di lahan penangkaran makin banyak, hanya dalam waktu tak terlalu lama.

Penangkaran benih itu apa? Penangkaran benih adalah kegiatan memproduksi tanaman, mulai dari biji dibuat kecambah, disemai, ditabur, diokulasi dan dienten lantas kita unggulkan dan dijual. Ada juga yang sampai berbuah. Orang yang menangkarkan disebut penangkar benih. Di Sumut, jumlah penangkar benih sekitar 400 orang.

Mereka tergabung dalam Asosiasi Penangkar Tanaman (Aspenta). Untuk periode 2002 ­ 2005, saya ditunjuk sebagai ketua. Banyak yang mau jadi penangkar benih, lho, tidak hanya dari Sumatera saja, tapi juga dari Irian. Orang yang dulu membantu saya menangkar, banyak yang kini jadi penangkar. Rencananya, bulan Agustus ini kami akan mengadakan pameran lingkungan.

KLIK - DetailSebagai penangkar benih, sudah berapa bibit yang Anda hasilkan? Jutaan, karena saya sudah 20 tahun jadi penangkar benih. Saat ini saja, saya punya dua juta stok bibit. Semua ada di kebun pelestarian seluas tiga hektar di Deli Serdang yang dikenal dengan sebutan Sapo Rukun Bersama Tanaman. Sedangkan lokasi pembibitan ada di beberapa tempat, yaitu di Pancurbatu seluas satu hektar yang disebut Sapo Rindu Berkat Tuhan, di Kel. Titi Kuning seluas 0,8 hektar dan di rumah saya.

Punya tanaman langka dan obat tradisional? Ya. Tanaman langka misalnya sawo duren, sirsak kuning, kedondong hutan, tualang dan nona. Sedangkan tanaman obat antara lain salam, tapak liman, sosor/cocor bebek, daun kuping macan, encok, mahkota dewa, tebu merah dan lain-lain.

Khusus tanaman obat tradisional Karo, saya berhasil melestarikan 16 jenis tanaman. Salah satu diantaranya dikenal masyarakat sebagai obat yang berkhasiat menambah stamina, yaitu gagaten harimau (Ampelocissus Thyrsiflorae). Selain itu, saya juga punya tanaman buah dan hias yang dibuat dalam polybag.

Saat Paris tengah diwawancara, Nursity Br Tarigan, istrinya, datang dan mendampingi suaminya.

"Inilah istri saya. Saya sangat mengaguminya. Dialah yang banyak membantu saya selama ini di kebun. Semoga Tuhan tetap memberkatinya," ujar Paris.




KLIK - DetailAda berapa jenis tumbuhan Anda sekarang? Lebih dari 100 jenis. Sebanyak 32 jenis di antaranya termasuk tumbuhan langka, 58 jenis tanaman obat, 16 jenis tanaman obat khusus tradisional Karo. Sisanya, tanaman yang banyak dibudidayakan dan masih potensial dikembangkan untuk pelestarian hutan dan perkebunan. Misalnya, mahoni, jati, asam glugur, mangga dan belimbing.

Dari semuanya, apa tumbuhan istimewa buat Anda? Mahoni. Pohon itu, kan, tonggak sejarah aktivitas saya dulu. Yang paling banyak saya kembangkan, pun, mahoni.

Berapa modal untuk memulai usaha ini ? Saya tak pernah bicara soal modal, karena sejak awal saya memang minus modal. Tapi, kalau sekarang diberi modal, saya syukuri. Sekarang, biaya operasional juga tak banyak, kok, per bulan cukup Rp 1,5 juta. Meski biayanya kecil, satu orang penangkar bisa memproduksi dua juta bibit dari berbagai jenis tanaman setiap tahun.

Omong-omong, bagaimana, sih, kondisi tanaman Indonesia saat ini? Menyedihkan. Saya pernah melihat orang asing membawa tanaman hutan kita ke negaranya. Di sana, dikembangkan melalui kultur jaringan. Setelah mereka patenkan haknya, tanaman itu dikembalikan lagi ke negara kita. Mereka jual dengan harga luar biasa mahal. Makanya, itu perlu jadi perhatian kita sekarang.

Anda sendiri, apa usaha yang Anda lakukan? Menggerakkan masyarakat dan pemerintah agar lebih mencintai tanaman negeri sendiri. Antara lain, dengan memberikan bantuan ke pemerintah Binjai, Pematang Siantar, Deli Serdang dan masyarakat Karo sebanyak lebih dari 60.000 batang pohon sejak tahun 1993. Jenisnya antara lain mahoni, pinang, kayu-kayuan, jambu mete dan buah-buahan. Sumbangan itu untuk penghijauan, penelitian dan pelestarian Daerah Aliran Sungai.

Mungkin karena itu nama saya dikenal. Lalu, saya bermitra dengan lembaga terkait dalam pembinaan lingkungan hidup, pertanian, kehutanan, perkebunan di Sumut dalam pengadaan bibit. Tahun 1998 ­ 2002, saya juga dipercaya melestarikan kawasan Ekosistem Leuser, yaitu lembaga kerja sama RI - Uni Eropa dengan mendukung pengembangan pembibitan tanaman langka, buah, kebun dan hutan.

Selain itu? Untuk penduduk yang tinggal di sekitar hutan, saya anjurkan untuk menanam buah-buahan agar tidak sesuka hati menebang hutan. Lagipula, hasilnya bisa dinikmati mereka juga, misalnya pohon durian.

Sudah puas dengan yang Anda peroleh sekarang? Belum, karena lingkungan kita belum bisa dikatakan baik. Bayangkan, dari 130 juta hektar luas hutan di dunia, 45 juta hektar hancur total termasuk lingkungannya. Contoh kecil saja, dari Pancurbatu sampai perbatasan Tanah Karo, semua sudah 'digarap' termasuk hutan lindung. Tapi pemerintah membiarkannya.

KLIK - DetailApa saran Anda? Seharusnya, lingkungan juga jadi perhatian pemerintah, enggak cuma kemegahan kota saja yang diurus. Di Indonesia, 100 juta penduduk diperkirakan kesulitan air, termasuk daerah pegunungan. Sedangkan di seluruh dunia, diprediksi sekitar dua miliar orang. Makanya, sebaiknya masyarakat membiasakan menanam minimal satu pohon di rumah. Rawatlah sampai besar dan rimbun supaya ekosistem tetap terjaga.

Apa hasil yang bisa Anda nikmati dari pekerjaan ini? Saya bisa punya rumah dan beberapa mobil. Lalu, kelima anak kami, Ruth Rossana,Vastita, Haristo, Friska dan Jane Ifana bisa sekolah dengan baik. Bahkan, si sulung dapat beasiswa di kampusnya. Memang tidak ada yang mengambil jurusan pertanian, tapi mereka cukup tahu perjuangan hidup ayahnya dulu.

Anda sendiri, dulu bercita-cita jadi apa? Dokter, tapi enggak kesampaian karena sekolah cuma sampai kelas 2 SMP. Saya, kan, cuma anak petani yang hidup pas-pasan. Tapi saya terbiasa mandiri, lho. Sejak kelas 1 SD, sambil sekolah, saya berjualan kecil-kecilan, termasuk hasil ladang orang tua. Oh ya, saya anak keenam dari tujuh bersaudara. Tamat SD saya ikut abang ke Tanah Karo. Di sana, saya jualan apa saja, termasuk koran.

Lalu, pindah ke Medan dan jadi buruh kasar di Belawan. Sempat berniat kerja di kapal, tapi batal karena jiwa saya bukan di situ. Tahun 1977, saya pindah ke Medan hingga sekarang. Setelah sukses begini, ada saja orang menawari gelar. Tapi saya tolak. Itu sama dengan menipu diri sendiri. Ada juga yang nawarin untuk memfilmkan kehidupan saya. Ini juga saya tolak. Hidup saya cukup bahagia dari tanaman, dan hidup saya untuk lingkungan. Itu tidak bisa diukur lewat gelar maupun uang.

Sumber: http://goo.gl/3b63O

No comments:

Post a Comment

Donate

 
Original Design by Ashoka Indonesia Modified by Ido