Indonesia Bangsa Pembaharu | Informasi Dunia Maya Terkini
Headlines News :






Subscribe me

Subscribe via RSS Feed If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Latest Post

Monday 17 December 2012

Menumbuhkan Empati Sejak Dini



Satu dari beberapa kesalahan konsep tentang kecerdasan adalah bahwa kecerdasan itu bersifat menetap.  Seseorang akan lahir, hidup dan mati dengan kecerdasan yang sama. Salah pengertian ini bisa jadi disebabkan oleh penemuan beberapa ilmuwan di masa lampau tentang kecerdasan. Pada beberapa tahun ke belakang dikenal beberapa tes yang mengukur kecerdasan seseorang yang hasilnya kemudian menjadi “label’ seumur hidup bagi  orang tersebut..
Kemajuan Ilmu pendidikan dan psikologi yang cukup pesat, seperti ditemukannya cara kerja yang berbeda dari otak kiri dan kanan, dan tentang keragaman kecerdasan (“Multiple Inteligences”), mendorong adanya kesepakatan bahwa tiap-tiap jenis kecerdasan dapat dilatih atau diperbaiki. Jadi perkembangan dari setiap kecerdasan tergantung dari bagaimana orangtua memilih pola asuh. Salah satu jenis kecerdasan dari berbagai ragam kecerdasan adalah kecerdasan emosi yang mencakup : kecakapan /keterampilan sosial, ketekunan, semangat, kemampuan memotivasi dan mengendalikan diri


Apakah itu Empati ?
Empati berarti menempatkan diri seolah-olah menjadi seperti orang lain. Jika kita mengajari anak untuk empati maka mereka tidak akan bersikap agresif dan akan senang membantu orang lain. Latihan ini bisa dimulai sejak anak usia 2 tahun, saat mereka sudah mampu berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain.
Bagaimana menumbuhkan empati ?
  • Mulai dari lingkungan terdekat  anak
  • Tunjukkan hal-hal yang sederhana. Ajak anak untuk menawari makanan kepada anak yang lain, bersedekah kepada orang yang membutuhkan
  • Kenalkan berbagai perasaan positif seperti : baik  sekali, senang sekali
  • Kenalkan juga berbagai perasaan negatif seperti : “Adik sedih sekali kak, tadi kamu rebut mainannya dengan kasar”
  • Beri penjelasan pada anak, bahwa semua bantuan harus ada alasannya, agar di masa depan tidak ada orang yang akan memanfaatkan kebaikan hatinya dengan cara yang buruk.
  • Siapkan lingkungan yang penuh cinta dan rasa aman bagi anak
Agar anak memiliki rasa empati dan peduli pada orang lain, ikuti tips berikut :
  1. Berikan motivasi pada anak saat ia menunjukkan rasa peduli pada orang lain.
  2. Ajarkan kepada anak untuk mengingat ketika orang lain bersikap peduli padanya.
  3. Berikan anak tugas ringan yang harus dikerjakan tiap hari untuk melatih kepeduliannya dan tanggungjawabnya kepada anggota keluarga
  4. Ajak anak untuk berbuat baik, seperti membukakan pintu dan mengatakan silahkan masuk, memberi makanan pada tetangga, menghormati dan menolong manula atau orang-orang cacat.
  5. Libatkan anak pada kegiatan sosial, seperti kerja bakti, bakti sosial, kunjungan ke panti asuhan dll
  6. Berikan teladan setiap saat
  7. Ajak anak melihat sendiri kehidupan orang lain.
  8. Dorong anak untuk menunjukkan kepeduliannya kepada orang lain.

Sumber: http://goo.gl/JSn5U

Wirausahawan, Pemimpin Pembawa Perubahan


Pembukaan Global Enterpreneurship Week 2012
Jakarta. Para wirausahawan (enterpreneurs) adalah para pemimpin bangsa yang membawa perubahan dan pembaharuan. Peran mereka sangat strategis dalam pembangunan ekonomi. Bahkan sesungguhnya, peran kewirausahaan sangat dibutuhkan di berbagai bidang untuk melakukan pembaharuan di negeri ini.

Demikian Wakil Presiden Boediono mengatakan saat memberikan sambutan dalam pembukaan Global Enterpreneurship Week (GEW) 2012 di Bank Indonesia, 12 November 2012. "Saya sendiri bukan enterpreneur, karena sejak awal selalu berkecimpung di sektor publik. Tapi karena saya akademisi yang mempelajari pembangunan ekonomi di berbagai negara, saya mengerti sekali peran strategis para wirausahawan ini, mereka champion yang melakukan perubahan," kata Wapres Boediono.

Hadir dalam kesempatan itu Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution dan para pendukung kegiatan Global Enterpreneurship Week antara lain tokoh GEW Indonesia Ciputra dan Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Scot Marciel dan Duta Besar Inggris untuk Indonesia Mark Canning serta Kauffman Foundation dari Amerika Serikat.

Wapres Boediono mengakui bahwa jumlah wirausahawan di Indonesia masih kecil, yakni hanya 1.56 % penduduk yang bisa dikategorikan sebagai wirausaha. Untuk kategori yang sama, Malaysia mencatat angka 4, Thailand 4.51 dan Singapura 7.2. "Ini baru menyangkut kuantitas. Dari segi kualitas belum tercermin di angka-angka itu. Tapi kalau kita lihat potensi wirausahawan kita, mustinya bisa lebih dari itu karena dari sektor informal saja kita lihat banyak yang berusaha atas resiko sendiri. Kalau untung ya dapat untung, kalau rugi ya menanggung rugi sendiri. Jadi kalau dari segi kualitas kita tidak kurang," katanya.

Menurut Wapres, demi mengembangkan kewirausahaan ada sejumlah tantangan yang masih harus dihadapi. Tantangan tersebut tentu saja bersinggungan dengan unit-unit bisnis yang menjadi wadah dari para wirausahawan tersebut. Terdapat enam kategori yang sering diasosiasikan sebagai handicap dalam mewujudkan unit bisnis, yakni: (1) masalah penegakkan hukum sebagai masalah fundamental karena wirausahawan mustahil bisa mengembangkan usaha di suatu daerah yang masih terganggu keamanannya, (2) pertumbuhan makro ekonomi yang stabil. Sikap konservatif fiskal yang prudence adalah opsi terbaik dalam kondisi ekonomi global yang serba tidak pasti. "Kalau makro-nya seperti yoyo atau roller coaster, maka orang yang bisa usaha hanya mereka yang sangat pandai atau sangat spekulatif. Yang produktif normal akan mundur," kata Wapres.

Kategori tantangan (3) adalah masalah infrastruktur yang memiliki dampak besar bagi wirausahawan karena kebanyakan transaksi ekonomi pasti mencantumkan komponen biaya transportasi. Studi Bank Dunia beberapa tahun lalu menunjukkan bahwa investasi di luar perkotaan sangat dipengaruhi oleh ada atau tidak adanya infrastruktur dasar yang memadai.

(4) Regulasi dan aturan yang bisa mendukung atau sebaliknya justru menghambat wirausaha, terutama dalam era otonomi daerah ketika pemerintah daerah mengeluarkan aturan-aturan yang berpengaruh langsung pada pengembangan wirausaha,

(5) Tersedianya layanan finansial bagi bisnis mikro maupun makro karena hal ini akan mempengaruhi pengembangan suatu bisnis. "Dalam hal ini para perumus kebijakan sedang berusaha menjabarkan lebih jauh konsep financial inclusion karena dari situ bisa terjaring calon-calon wirausahawan muda," kata Wapres.

Dan yang terakhir (6) adalah masalah tenaga kerja yang terlatih dan terampil yang sangat dibutuhkan oleh pengembangan industri.

Untuk menjawab yang terakhir, Wapres Boediono mengajak kalangan swasta dan perbankan untuk terus menerus melakukan program pelatihan kewirausahaan dan mentoring. Wapres juga meminta agar para pelaku pelatihan dan mentoring dari berbagai kalangan bisa bersinergi dan bergabung dalam sebuah forum komunikasi demi mencapai tujuan bersama yakni pengembangan kewirausahaan secara nasional.

Menurut Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution, dukungan Bank Indonesia (BI) terhadap kampanye Global Enterpreneurship Week yang dimulai di Amerika Serikat dan Inggris ini adalah upaya BI untuk memaksimalkan momen pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini yang tercatat sebagai salah satu yang paling stabil di dunia, seperti yang baru-baru ini dikutip majalah The Economist.

Pertumbuhan ekonomi yang stabil tersebut, kata Gubernur BI, disokong oleh konsumsi dalam negeri dan investasi. Dari data yang dipublikasi 2-3 tahun belakangan, investasi yang masuk ditujukan untuk memenuhi pasar dalam negeri yang dinamis. “Karena itu maka enterpreneur dalam negeri mestinya lebih mudah menjangkaunya,” kata Wapres.

Gubernur BI meminta kalangan swasta untuk menggunakan dana tanggungjawab sosialnya untuk pengembangan potensi, pelatihan dan mentoring keriwausahaan. Kampanye GEW pertamakali diselenggarakan 2007 melalui Enterpreneurship USA, lalu enterprise UK 2008. Tahun ini kampanye GEW akan digelar di 125 negara termasuk Indonesia, dimana selain Bank Indonesia, terdapat lagi bank sentral negara lain yang terlibat yakni dari Afrika Selatan.

Dalam kampanye GEW ini BI melakukan program kerja penciptaan wirasauhawan baru di tujuh kantor BI antara lain Surabaya, Bandung, Makassar, Semarang, Palembang dan Yogya dengan target kelompok mahasiswa dan mantan Tenaga Kerja Indonseia (TKI). Pelatihan juga dilakukan di Universitas Indonesia, Universitas Negeri Jakarta, Institut Pertanian Bogor dan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Dari 1570 peserta, terdapat 243 yang lolos seleksi untuk mengikuti pelatihan. Terdapat pula talkshow dan pelatihan kewirausahaan di salah satu pesantren di Jawa Timur.

BI juga melakukan penyertaan modal seed capital kepada perwakilan peserta terbaik program wirausaha dengan total nilai Rp 3 Miliar dari anggaran program sosial BI yang diserahkan oleh Wapres Boediono

Sumber: http://goo.gl/4Fz5U

Mahasiswa Harus Jadi Pembaharu




MEDAN – Jika tidak ingin terlindas perkembangan zaman, mahasiswa diharapkan bisa menjadi orang yang mampu melakukan pembaharuan di segala bidang. Bukan zamannya lagi mahasiswa hanya mengikuti apa yang sudah ada.

Pola pikirnya harus diubah dari fix mindset (berpikiran tetap) menjadi growth mindset (berpikiran maju). “Cracking zone ini adalah orang yang mampu melakukan pembaharuan dalam suatu industri. Selama ini mahasiswa masih banyak yang terperangkap dalam suasana yang nyaman dan kalau tidak sadar bisa terus terlindas,” ungkap pemikir dan praktisi perubahan Rhenald Kasali di Kampus USU, Medan, kemarin.

Motivator untuk perubahan bisnis ini menyebutkan, menjadi seorang crackers merupakan solusi menghadapi perubahan zaman dan keluar dari perangkap zona nyaman. Menurut dia, mahasiswa sebaiknya terus berupaya menggali dan mengembangkan ilmu yang dimilikinya.

“Bisa dicontohkan, seorang Bondan Winarno itu adalah seorang crackers. Dia hanya tamatan SMA, tapi mampu menjadi kepala program kuliner di salah satu televisi. Ini dilakukannya karena dia memilikigrowth mindset,” kata Rhenald.

Ketua Program Studi S-2 dan S-3 Manajemen USU Paham Ginting mengakui hingga saat ini masih banyak mahasiswa yang berpikir lulus kuliah menjadi pegawai negeri sipil. Mereka ini disebutnya punya pola pikir tunggu dan lihat, padahal seharusnya pola pikirnya harus diubah menjadi melihat dan bertindak. (lia anggia nasution/sindo)  (//rfa)

Sumber: http://goo.gl/CKNSB

Fellow 2012: Paris Sembiring


SMP, Paris Sembiring (45) tak lulus. Mulai dari buruh, loper koran, petani sampai tukang becak, pernah dia jalani. Namun, keisengannya mengumpulkan buah mahoni sembari menunggu penumpang becaknya puluhan tahun lalu berbuah manis. Kini, dia salah satu peraih penghargaan Kalpataru 2003 kategori Pembina Lingkungan. Pemerintah menghargai usahanya memelopori pelestarian lingkungan hidup di Medan dan sekitarnya. 

Apa yang membuat Anda memperoleh penghargaan Kalpataru? Entah, ya. Selama ini, saya ikhlas bekerja, ngasih bibit gratis dan pelatihan pada yang membutuhkan. Tapi rupanya saya dianggap sebagai pembina lingkungan hidup yang siap memberi informasi tentang melestarikan lingkungan pada masyarakat.

Bagaimana mulanya Anda tertarik pada lingkungan? Saya kerap berteduh di bawah pohon mahoni yang memang banyak tumbuh di sejumlah ruas jalan di Medan, seperti Jl. Sudirman, J. S. Parman. Pokoknya, tempat becak saya mangkal. Dari tahun 1978 - 1982, saya memang penarik becak. Sambil menunggu penumpang, saya rajin mengutip buah dan biji mahoni yang jatuh. Lalu, saya bawa pulang ke rumah kontrakan untuk disemaikan jadi bibit.

Bibit itu bisa berkembang? Ya. Lalu, saya bagikan ke tetangga. Mau ditanam di pekarangan atau kebun, terserah mereka. Lama-kelamaan, bukan cuma mahoni yang saya bibitkan, tapi juga meranti dan beringin yang bisa hidup di daerah bebatuan.

Anda mengambil bibit dari mana saja? Sebagian bibit saya kumpulkan dari hutan, tapi ada juga yang diberi kenalan saya.
Kegiatan mengutip buah mahoni ini terhenti sejak Paris tak lagi menarik becak. Pekerjaan ini dia tinggalkan karena pada 1981 Pemkot Medan melarang becak memasuki tengah kota. Sebagai gantinya, dia buka warung kopi di kawasan Padang Bulan, Medan.

KLIK - DetailSukseskah usaha warung kopi Anda itu? Tidak, mungkin rezeki saya bukan di situ. Tapi, dari pekerjaan itu, saya punya hikmah lagi. Kalau sedang tak ada pembeli, saya selalu berkebun. Sepetak tanah di belakang rumah kontrakan jadi tempat menyalurkan hobi berkebun. Sejak kecil, saya memang cinta tumbuhan. Usaha warung itu sendiri cuma bertahan setahun. Setelah menikah pada 1983, saya pulang kampung . Saya ingin mengolah lahan milik orang tua.

Apa yang terjadi? Awal menuai, tak semulus yang diharapkan. Ternyata, jadi petani itu sangat memprihatinkan. Pendapatan pas-pasan. Yang paling sulit, waktu keluarga sakit karena biaya berobat sangat mahal. Tapi justru itu yang mendorong saya kerja lebih keras lagi, meskipun, kegagalan masih harus saya hadapi.

Saya makin semangat saat teringat nasihat orang tua yang bilang bahwa manusia hanya bisa menabur dan Tuhanlah yang menentukan hasil tuaian. Nasihat itu yang sampai kini terus mendorong hidup saya. Saat itu, saya terpikir untuk membuat penangkaran benih. Saya mulai dari beberapa jenis bibit. Tak disangka, jumlah bibit di lahan penangkaran makin banyak, hanya dalam waktu tak terlalu lama.

Penangkaran benih itu apa? Penangkaran benih adalah kegiatan memproduksi tanaman, mulai dari biji dibuat kecambah, disemai, ditabur, diokulasi dan dienten lantas kita unggulkan dan dijual. Ada juga yang sampai berbuah. Orang yang menangkarkan disebut penangkar benih. Di Sumut, jumlah penangkar benih sekitar 400 orang.

Mereka tergabung dalam Asosiasi Penangkar Tanaman (Aspenta). Untuk periode 2002 ­ 2005, saya ditunjuk sebagai ketua. Banyak yang mau jadi penangkar benih, lho, tidak hanya dari Sumatera saja, tapi juga dari Irian. Orang yang dulu membantu saya menangkar, banyak yang kini jadi penangkar. Rencananya, bulan Agustus ini kami akan mengadakan pameran lingkungan.

KLIK - DetailSebagai penangkar benih, sudah berapa bibit yang Anda hasilkan? Jutaan, karena saya sudah 20 tahun jadi penangkar benih. Saat ini saja, saya punya dua juta stok bibit. Semua ada di kebun pelestarian seluas tiga hektar di Deli Serdang yang dikenal dengan sebutan Sapo Rukun Bersama Tanaman. Sedangkan lokasi pembibitan ada di beberapa tempat, yaitu di Pancurbatu seluas satu hektar yang disebut Sapo Rindu Berkat Tuhan, di Kel. Titi Kuning seluas 0,8 hektar dan di rumah saya.

Punya tanaman langka dan obat tradisional? Ya. Tanaman langka misalnya sawo duren, sirsak kuning, kedondong hutan, tualang dan nona. Sedangkan tanaman obat antara lain salam, tapak liman, sosor/cocor bebek, daun kuping macan, encok, mahkota dewa, tebu merah dan lain-lain.

Khusus tanaman obat tradisional Karo, saya berhasil melestarikan 16 jenis tanaman. Salah satu diantaranya dikenal masyarakat sebagai obat yang berkhasiat menambah stamina, yaitu gagaten harimau (Ampelocissus Thyrsiflorae). Selain itu, saya juga punya tanaman buah dan hias yang dibuat dalam polybag.

Saat Paris tengah diwawancara, Nursity Br Tarigan, istrinya, datang dan mendampingi suaminya.

"Inilah istri saya. Saya sangat mengaguminya. Dialah yang banyak membantu saya selama ini di kebun. Semoga Tuhan tetap memberkatinya," ujar Paris.




KLIK - DetailAda berapa jenis tumbuhan Anda sekarang? Lebih dari 100 jenis. Sebanyak 32 jenis di antaranya termasuk tumbuhan langka, 58 jenis tanaman obat, 16 jenis tanaman obat khusus tradisional Karo. Sisanya, tanaman yang banyak dibudidayakan dan masih potensial dikembangkan untuk pelestarian hutan dan perkebunan. Misalnya, mahoni, jati, asam glugur, mangga dan belimbing.

Dari semuanya, apa tumbuhan istimewa buat Anda? Mahoni. Pohon itu, kan, tonggak sejarah aktivitas saya dulu. Yang paling banyak saya kembangkan, pun, mahoni.

Berapa modal untuk memulai usaha ini ? Saya tak pernah bicara soal modal, karena sejak awal saya memang minus modal. Tapi, kalau sekarang diberi modal, saya syukuri. Sekarang, biaya operasional juga tak banyak, kok, per bulan cukup Rp 1,5 juta. Meski biayanya kecil, satu orang penangkar bisa memproduksi dua juta bibit dari berbagai jenis tanaman setiap tahun.

Omong-omong, bagaimana, sih, kondisi tanaman Indonesia saat ini? Menyedihkan. Saya pernah melihat orang asing membawa tanaman hutan kita ke negaranya. Di sana, dikembangkan melalui kultur jaringan. Setelah mereka patenkan haknya, tanaman itu dikembalikan lagi ke negara kita. Mereka jual dengan harga luar biasa mahal. Makanya, itu perlu jadi perhatian kita sekarang.

Anda sendiri, apa usaha yang Anda lakukan? Menggerakkan masyarakat dan pemerintah agar lebih mencintai tanaman negeri sendiri. Antara lain, dengan memberikan bantuan ke pemerintah Binjai, Pematang Siantar, Deli Serdang dan masyarakat Karo sebanyak lebih dari 60.000 batang pohon sejak tahun 1993. Jenisnya antara lain mahoni, pinang, kayu-kayuan, jambu mete dan buah-buahan. Sumbangan itu untuk penghijauan, penelitian dan pelestarian Daerah Aliran Sungai.

Mungkin karena itu nama saya dikenal. Lalu, saya bermitra dengan lembaga terkait dalam pembinaan lingkungan hidup, pertanian, kehutanan, perkebunan di Sumut dalam pengadaan bibit. Tahun 1998 ­ 2002, saya juga dipercaya melestarikan kawasan Ekosistem Leuser, yaitu lembaga kerja sama RI - Uni Eropa dengan mendukung pengembangan pembibitan tanaman langka, buah, kebun dan hutan.

Selain itu? Untuk penduduk yang tinggal di sekitar hutan, saya anjurkan untuk menanam buah-buahan agar tidak sesuka hati menebang hutan. Lagipula, hasilnya bisa dinikmati mereka juga, misalnya pohon durian.

Sudah puas dengan yang Anda peroleh sekarang? Belum, karena lingkungan kita belum bisa dikatakan baik. Bayangkan, dari 130 juta hektar luas hutan di dunia, 45 juta hektar hancur total termasuk lingkungannya. Contoh kecil saja, dari Pancurbatu sampai perbatasan Tanah Karo, semua sudah 'digarap' termasuk hutan lindung. Tapi pemerintah membiarkannya.

KLIK - DetailApa saran Anda? Seharusnya, lingkungan juga jadi perhatian pemerintah, enggak cuma kemegahan kota saja yang diurus. Di Indonesia, 100 juta penduduk diperkirakan kesulitan air, termasuk daerah pegunungan. Sedangkan di seluruh dunia, diprediksi sekitar dua miliar orang. Makanya, sebaiknya masyarakat membiasakan menanam minimal satu pohon di rumah. Rawatlah sampai besar dan rimbun supaya ekosistem tetap terjaga.

Apa hasil yang bisa Anda nikmati dari pekerjaan ini? Saya bisa punya rumah dan beberapa mobil. Lalu, kelima anak kami, Ruth Rossana,Vastita, Haristo, Friska dan Jane Ifana bisa sekolah dengan baik. Bahkan, si sulung dapat beasiswa di kampusnya. Memang tidak ada yang mengambil jurusan pertanian, tapi mereka cukup tahu perjuangan hidup ayahnya dulu.

Anda sendiri, dulu bercita-cita jadi apa? Dokter, tapi enggak kesampaian karena sekolah cuma sampai kelas 2 SMP. Saya, kan, cuma anak petani yang hidup pas-pasan. Tapi saya terbiasa mandiri, lho. Sejak kelas 1 SD, sambil sekolah, saya berjualan kecil-kecilan, termasuk hasil ladang orang tua. Oh ya, saya anak keenam dari tujuh bersaudara. Tamat SD saya ikut abang ke Tanah Karo. Di sana, saya jualan apa saja, termasuk koran.

Lalu, pindah ke Medan dan jadi buruh kasar di Belawan. Sempat berniat kerja di kapal, tapi batal karena jiwa saya bukan di situ. Tahun 1977, saya pindah ke Medan hingga sekarang. Setelah sukses begini, ada saja orang menawari gelar. Tapi saya tolak. Itu sama dengan menipu diri sendiri. Ada juga yang nawarin untuk memfilmkan kehidupan saya. Ini juga saya tolak. Hidup saya cukup bahagia dari tanaman, dan hidup saya untuk lingkungan. Itu tidak bisa diukur lewat gelar maupun uang.

Sumber: http://goo.gl/3b63O

John Rahail: Sekolah Kampung untuk Masa Depan Papua

MASIH sedikit sumber daya manusia yang terampil dan memiliki pengetahuan cukup di Papua, sementara kekayaan alam yang melimpah di sana belum bisa diolah oleh putra-putri provinsi tertimur Indonesia itu. Sebaliknya, banyak investor asing yang menguasai kekayaan alam di sana. 

Rendahnya sumber daya manusia yang berkualitas menjadi perhatian serius John Rahail, 45, dosen di Universitas Cendrawasih, Papua. 

Menurutnya, mayoritas masyarakat Papua belum menganggap pendidikan sebagai kebutuhan yang cukup penting. 

Melalui lembaga yang dibentuknya, Institute of Community Development and Emporwerment (ICDP), John mendirikan sekolah kampung yang diberi nama Maju Bersama, di pantai timur Desa Beneraf, Kabupaten Sarmi.

Sejak 2007 ia mulai mengembangkan konsep pendidikan berbasis kearifan lokal yang terintegrasi. John mengemas kurikulum pendidikan dengan mendekatkan anak-anak dengan lingkungan. 

''Kegiatan belajar mengajar tidak harus dilakukan di dalam ruang kelas. Bisa di rumah adat, balai kampung, pinggir sungai, atau di atas pasir. Mereka belajar di bawah pohon dengan beralaskan terpal. Sekolah unik ini merupakan yang pertama di Papua,'' terang John. 

Dia menginginkan anak-anak Papua bisa membangun kepercayaan diri, mencintai sekolah, dan senang belajar. ''Karena selama ini masyarakat Papua masih menganggap masalah pendidikan kurang penting,'' imbuhnya. 

Sekolah kampung yang didirikan itu ditujukan untuk anak-anak usia dini, mulai 3 hingga 5 tahun. Saat ini sebanyak 50 anak belajar di sana. 

Sekolah kampung tersebut hanya memiliki satu bangunan yang digunakan sebagai ruang kelas dan diisi dengan peralatan seadanya. Anak-anak duduk di lantai. Di hadapan mereka ada bangku panjang yang berfungsi sebagai meja. 

Di kelas sederhana itu anak-anak bebas bermain dan belajar mengenal warna, benda, gambar, dan lainnya dengan perasaan gembira. 

John memang sengaja mengajak anak-anak balita itu untuk mengenal huruf, angka, warna, serta permainan edukatif lainnya. Kegiatan belajar mengajar di sekolah kampung itu hanya diadakan tiga kali dalam seminggu. 

Untuk bersekolah di sana, orangtua siswa tidak dipungut biaya alias gratis. 

''Ini sangat membantu cara berpikir mereka dari berbagai sisi. Biasanya anak-anak itu jarang mandi. Tapi, sejak ikut sekolah kampung, mereka mandi secara teratur,'' terang John setelah melihat kemajuan anak-anak didiknya. 

Pendidikan usia dini bagi anak-anak Papua memang cukup strategis untuk menumbuhkan cinta kepada dunia pendidikan. Nantinya saat memasuki jenjang sekolah formal, anak-anak sudah bisa membaca dan menulis. 

Pasalnya, lanjut John, di Papua ada anak usia SMP belum bisa membaca. Hal itu diperparah dengan minimnya komunikasi antara anak dan orangtua di rumah menyangkut kegiatan belajar di sekolah. 

''Ada mata rantai yang hilang dalam pembangunan pendidikan di Papua. Proses pendidikan anak dalam keluarga tidak dipersiapkan untuk masuk sekolah formal. Mereka hanya dikenalkan tentang alam dan lingkungan,'' jelasnya. 

John pun kerap menemui kasus anak hanya masuk sekolah satu hari, kemudian selama sebulan bolos sekolah. Mereka malas melanjutkan sekolah dan lebih memilih membantu orangtua berladang. 

''Ada sebuah cara pandang masyarakat Papua tentang pendidikan. Proses belajar di sekolah dipandang sebagai beban, sesuatu yang menakutkan, keterpaksaan, dan kebiasaan yang memengaruhi tingkat partisipasi anak dalam kehadiran dan proses belajar di sekolah.'' 

Untuk itu, pendirian sekolah kampung bisa menjembatani kendala-kendala yang dihadapi anak saat memasuki jenjang sekolah dasar. 


Penuh kendala 

Membangun sekolah kampung bukan tanpa kendala. Masyarakat tidak sepenuhnya mendukung program cemerlang milik John ini. Masyarakat saat itu menganggap bersekolah hanya membuang waktu. Anak-anak yang sekolah belum tentu langsung kerja dan mendapatkan uang. ''Sekolah hanya untuk anak kota. Orang desa tidak perlu sekolah, buang-buang waktu saja'' jelasnya. 

Saat didirikan di Desa Beneraf, sekolah kampung mendapat respons negatif dari warga sekitar. John sempat diusir warga yang tidak setuju dengan kehadiran sekolah tersebut. 

''Awalnya masyarakat beranggapan bahwa kami hanya mengedepankan mimpi-mimpi daripada kenyataan. Alasan mereka adalah sekolah formal yang memiliki gedung dan guru PNS saja tidak serius, apalagi model sekolah kampung yang hanya mengedepankan partisipasi masyarakat seperti ini,'' ungkapnya. 

Sebagai putra asli Papua, John sangat menyadari permasalahan pendidikan yang terjadi di tanah leluhurnya. Walaupun hampir di setiap distrik dan kampung terdapat gedung sekolah dan aktivitas belajar pendidikan dasar, itu tidak menjamin semua anak usia sekolah berpartisipasi. 

Angka partisipasi murni (APM) anak-anak sekolah masih rendah. Siswa yang belajar aktif setiap hari di wilayah pinggiran dan kampung hanya 40%. 

Dengan kondisi itu, John kemudian memaksimalkan potensi tenaga pengajar lokal dengan merekrut empat pemuda lulusan SMP dan SMA untuk mengajar di sekolah 
kampung tersebut. 

Pria kelahiran Merauke ini mengajak empat pemuda tersebut untuk membimbing anak-anak di dalam suku maupun sub-subnya untuk mengenal dunia pendidikan. 

Di dalam adat masyarakat Papua, terdapat sub-subsuku. Setiap marga memiliki tugas dari subsukunya. Ada yang bertugas mengawasi laut, berperang, serta menjaga keselamatan warga dari perang suku dan binatang buas. ''Nah belum ada subpendidikan. Kami masuk di situ, dan empat pemuda itu memang telah direkomendasikan oleh kepala suku untuk membimbing generasi muda di desa mereka melalui pendidikan,'' ungkap John. 

Dalam tiga tahun terakhir, lulusan sekolah kampung ternyata banyak diterima di sekolah dasar, dengan alasan mereka siap memasuki jenjang pendidikan. Anak-anak memiliki banyak pengetahuan serta mampu beradaptasi dan berpartisipasi. 

Kini tidak hanya balita yang menuntut ilmu di sekolah kampung. Ibu-ibu yang masih buta huruf mulai bergabung untuk belajar membaca di sekolah tersebut. Biasanya mereka menyempatkan belajar membaca saat menunggui anak di sekolah. Sebuah usaha cerdas yang berbuah manis. (N-3)

Sumber: http://goo.gl/ymjjF

Deka Kurniawan – Terapi dan pendidikan bagi anak autis dhuafa

Deka Kurniawan menangani permasalahan anak autis miskin adalah dengan mengembangkan kerjasama yang baik, salah satunya dengan mengembangkan advokasi yang memungkinkan negara, dan masyarakat untuk menangani masalah ini secara kolektif dan melakukan gerakan di kalangan profesional untuk memberikan pelayanan langsung untuk anak-anak autis miskin. Rumah Autis diciptakan dengan memiliki kata kunci "EPOS" sebagai budaya kerja, secara harfiah berarti Energi Positif. Rumah Autis diperuntukkan bagi publik untuk mengisi kesenjangan dimana tidak ada lembaga tunggal yang benar-benar bekerja untuk menangani anak autis miskin serius dan profesional.

Cara Rumah Autis menangani masalah ini lebih sistemik dan integral. Tidak hanya memberikan pengobatan untuk anak-anak autis sendiri, tetapi juga berurusan dengan orang tua mereka. Pemberdayaan dilakukan secara bersamaan, baik di sekolah dan di rumah. Rumah Autis membekali mereka motivasi spiritual, terapi serta pelatihan yang berhubungan dengan perkembangan anak-anak autis. Hal yang sama dilakukan dengan baik oleh para relawan dan donor. Mereka secara khusus diberikan program intensif untuk membangun dan memelihara jiwa manusia, semangat cinta dan ketulusan dan kesabaran dalam terlibat dengan anak-anak dengan kebutuhan khusus.

Dalam proses mengelola penggalangan dana, yang terus diterapkan Rumah Autis dan yang terus dikembangkan adalah kreativitas. Prinsip utama adalah "orang yang selalu berbagi selalu menerima kembali" dan "siapa bibit tanaman akan memilih hasilnya”. Kemudian, Rumah Autis juga mengembangkan usaha ekonomi mandiri dengan membuka unit usaha dan juga klinik kesehatan serta klinik-ramuan berbasis medis. Selain itu, Rumah Autis sedang melakukan program BRANKAS akhirat (harfiah berarti, Barang Digunakan untuk akhirat). Donasi dalam bentuk barang bekas (mungkin furnitur, elektronik, kendaraan, dll) yang kita gunakan untuk kepentingan Rumah Autis atau barang tersebut dijual kembali. Program ini cukup menarik banyak donor. Mereka menganggap hal tersebut sebagai solusi yang baik untuk menangani hal yang tidak terpakai di rumah mereka. Dan sebenarnya Rumah Autis memiliki cukup kreativitas untuk memperjuangkan uang untuk kepentingan anak-anak autis miskin

Menabung Sampah demi Hari Esok

Menabung identik dengan mengumpulkan uang. Tapi bagaimana kalau yang ditabung adalah sampah? Inilah yang dilakukan dosen Jurusan Kesehatan Lingkungan Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Bambang Suwerda. 

Di tangan Bambang Suwerda, menabung sampah hasil akhirnya berupa kumpulan uang. Bukan tumpukan sampah. Bahkan,kita bisa menabung sampah di Bank Sampah Gemah Ripah yang telah didirikan olehnya bersama warga Dusun Badegan, Bantul sejak 2008. Seperti apa sih bank sampah yang dibangun oleh Bambang Suwerda sehingga mampu menghasilkan uang? Berikut wawancara SINDO dengan Direktur Bank Sampah Gemah Ripah Bambang Suwerda.

Bagaimana cara kerja bank sampah hingga bisa menghasilkan uang? 

Umumnya masyarakat menunjukkan rasa tidak suka dengan sampah.Perilaku tersebut dapat dilihat dari cara mereka memberlakukan sampah,seperti dibakar atau dibuang di sembarang tempat.Kita mencoba menerapkan sistem baru bagaimana caranya membuang sampah tapi tidak membahayakan lingkungan dan menghasilkan uang. Bank sampah ini masuk dalam bagian bengkel kerja kesehatan lingkungan.

Ini bagian dari kompetensi kami sebagai pengajar untuk menerapkan tridarma perguruan tinggi. Kami terapkan ilmu yang dimiliki di masyarakat. Semua orang tahu mengenai kesehatan lingkungan yang meliputi pengolahan limbah, penyehatan air, sanitasi makanan dan minuman, serta pengolahan sampah. Nah, bank sampah ini menjadi salah satu bagian dari kegiatan pengolahan sampah.

Dipilihnya pengolahan sampah karena efek dominonya cukup banyak. Pengolahan sampah secara mandiri otomatis berdampak panjang, dari sisi manusianya tercipta perilaku sehat dan pola hidup bersih.Sementara dari sisi lingkungan, lingkungan jadi bersih dan suasana nyaman terbangun hingga akhirnya dapat mewariskan bumi yang sehat bagi anak dan cucu. Bank sampah merupakan cara kami mengubah paradigma masyarakat agar suka terhadap sampah.

Yang digarap sisi manusianya agar mau mengubah paradigma sekadar pembuang sampah menjadi penabung. Penabung sampah untuk mendapatkan uang. Caranya, ya persis dengan cara orang menabung di bank. Namun yang dibawa adalah tumpukan sampah sesuai ketentuan yang tercantum di dalam buku rekening dan hasil akhirnya berupa kumpulan uang.Karena ini kegiatan menabung, kami juga mempergunakan instrumen perbankan seperti buku,nomor rekening hingga bentuk fisik banknya yang juga dilengkapi teller.

Apa mekanisme teknisnya? 

Penabung adalah individu atau kelompok masyarakat. Kami selaku pengelola bank punya satu mitra penting untuk menjalankan roda kegiatan ini, yaitu pengepul sampah. Kalau di sini (Bantul) kami menyebutnya rosok.Penabung,baik individu atau komunal menyetorkan sampah sesuai tiga klasifikasi yang telah ditentukan, yaitu plastik, kertas, dan kaleng.

Penyetoran dilakukan dengan slip setoran persis seperti saat menabung di bank konvensional. Pencatatan di buku rekening dilakukan setiap panen, yang jadwalnya dilakukan setiap tiga bulan sekali. Panen dilakukan dengan cara penabung membawa slip setoran dan buku tabungan untuk kemudian oleh tellerdihitung nilai sampah yang telah ditabung dan dicatat di buku tabungan.

Masyarakat dapat menarik uang yang mereka kumpulkan dengan ketentuan saldo minimal Rp5.000. Kalau di bank aslinya saldo minimal Rp50.000. Karena ini sampah, kami hanya menentukan saldo minimal Rp5.000. Asal memenuhi saldo minimal, pengambilan uang dapat dilakukan setiap kali panen. Tapi praktiknya, nasabah kami mengambil uang setahun sekali, setiap kali menjelang Lebaran.

Jika setahun sekali, ratarata setiap nasabah bisa mengumpulkan “panen” berapa? 

Penabung yang aktif dan rajin, rata-rata jumlah uang yang didapatkan menjelang Lebaran bisa Rp200.000- 300.000. Bagi yang tidak rajin hanya Rp10.000–15.000. Rajin di sini tolok ukurnya tidak hanya dari kemauan menyetorkan sampah. Kalau nasabah mau bersusah-susah memilah sampah, seperti kertas, kami pisahkan sesuai jenisnya, folio atau karton karena nilainya berbedabeda. Imbasnya, hasil juga akan banyak. Tetapi kalau hanya pasrah saja kertas semuanya dijadikan satu, plastik owolan langsung diserahkan ke kita,yahasilnya tidak sebanyak nasabah yang mau susah merinci kegiatan pemilahan sampah.

Butuh berapa lama membangun sistem ini di masyarakat? 

Bank sampah resmi berdiri pada 5 Juni 2008.Kendati resmi beroperasi 2008, sebelumnya kita sudah memasyarakatkan rencana ini kepada warga sekitar tempat tinggal kami, khususnya di satu RT.Di sini kelompok garapan adalah kelompok penabung dengan sosialisasi lewat arisan. Bahkan, kami juga memasyarakatkannya dengan mobil keliling yang beberapa bulan sekali keliling satu desa di awalnya dulu.

Saat ini sosialisasi dilakukan dengan memanfaatkan pengeras suara untuk pengumuman setiap kali menggelar panen. Bank sampah ini esensinya pemberdayaan masyarakat. Yang membedakan dengan lapak dan pengepul adalah selain aspek ekonomi, juga punya sisi pendidikan, penyelamatan lingkungan. Dan jangka panjangnya ialah bagaimana kami ingin mengubah dari yang semula pemulung menjadi lapak. Sebab, tidak ada ruginya bermitra dengan bank sampah. Sementara pengepul hanya memilikiaspek profitoriented.

Berapa omzet sampah yang berhasil dikumpulkan? 

Kami hitungannya produksi per bulan dan juga memiliki monthly record.Untuk bulanan sekitar 500–1.000 kilogram (kg) sampah yang masuk dengan komposisi yang ditabung lebih banyak plastik. Brankas untuk plastik ini setiap tiga sampai empat pekan penuh jadi 40% sampah yang terkumpul adalah plastik. Dari plastik yang terkumpul, artinya kami ikut menyelamatkan lingkungan.

Dihitung rata-rata,paling sering sampah yang terkumpul antara 5–6 kuintal. Sementara uangnya sekitar Rp700.000–1.000.- 000 untuk semua penabung. Kalau omzet lebih banyak berbentuk suvenir hasil kerajinan pengolahan sampah yang siap dipasarkan melalui pemesanan atau dipajang di distro.

Yang bekerja di bank sampah apa statusnya? 

Kami menyadari lambat laun tidak mungkin kegiatan ini terus bersifat sosial lantaran mereka yang aktif mengelola akhirnya juga berpikir menjadikannya sebagai sumber penghasilan. Saat ini kami punya lima petugas yang aktif memberikan pelayanan setiap hari di bank sampah. Sementara untuk seluruh relawan ada 24 orang lantaran punya 19 orang yang bekerja secara paruh waktu.

Bagi petugas pengambil tabungan, awalnya diberikan kompensasi sepekan dua kali keliling mengambil sampah senilai Rp15.000.Saat ini sudah naik jadi Rp25.000.Petugas pengambil adalah tukang becak. Sejak 2009 kami memanfaatkan sepeda motor bantuan dari Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Bantul untuk aktivitas pengambilan sampah.Saya di sini ditunjuk menjadi ketua atau bisa juga dikatakan direkturnya. Enggak bisa jadi direktur bank umum,yajadi direktur bank sampah juga enggak apa-apa.

Pengembangan apa yang masih ingin dilakukan? 

Masih ada sedikit sampah yang akhirnya tidak dapat kami olah.Akhirnya harus dibuang, misalnya pampers atau pembalut wanita yang memang tidak dapat diolah. Jumlah sampah terbuang cuma 10%. Kalau dari sistem perbankan yang diterapkan saat ini proses pencatatan transaksi di buku tabungan masih dilakukan manual.Sebab,untuk mendapatkan satu unit komputer termasuk program print out layaknya di bank, butuh dana Rp78 juta.Kami enggak cukup untuk itu.

Apa yang dikerjakan masih 20–25% dari seluruh aktivitas kesehatan lingkungan. Ke depan tentu ingin terus memperkuat upaya penyehatan lingkungan. Sekarang ini sudah mulai dilakukan dengan pembuatan contoh IPAL untuk limbah laundry, pengolahan sampah organik dengan Sabtu giling, dan pembuatan water treatment untuk memenuhi kebutuhan air bersih.

Dari prinsip 3R atau reuse, reduce, dan recycle, prinsip reuse masih lemah. Respons terhadap keberadaan suvenir karya perajin masih rendah. Kalau pemerintah mau menindaklanjuti dengan kebijakan penggunaan barang produk kerajinan pengolahan sampah untuk kegiatan mereka, tentu ini bak gayung bersambut. maha deva  

Sumber: http://goo.gl/y6dGB

media

Berita Video

video

Donate

Tokoh Kita Hari Ini

fellow

Alam dan Jagad Raya

donasi

Renungan

kerjasama

Seputar Mitos

donasi

Berita Aneh

berita

Kesehatan

fellow
 
Original Design by Ashoka Indonesia Modified by Ido