Dian Wahdini Syarief: Peraih Lifetime Achievement Award dari Kongres Lupus Internasional, Kanada - Indonesia Bangsa Pembaharu
Headlines News :






Subscribe me

Subscribe via RSS Feed If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.

Monday 17 December 2012

Dian Wahdini Syarief: Peraih Lifetime Achievement Award dari Kongres Lupus Internasional, Kanada


Di balik kelembutan dan ketenangannya, Dian menyimpan kegigihan dan ketegaran yang luar biasa menghadapi keganasan penyakit lupusnya yang kerap kambuh.
Ia kini mendarmakan waktunya untuk menolong sesama penderita lupus lainnya. Lifetime Achievement Award dari Kongres Lupus Internasional pun dianugerahkan kepadanya atas sumbangsihnya itu.
Senyum simpul selalu mengembang dari bibir wanita berkerudung ini. Secarik keteduhan pun selalu membayang di wajahnya. Semua ini berkat kepasrahan yang dilakoninya setelah penyakit lupus yang menyerangnya membuatnya kehilangan 95% penglihatannya, juga rahimnya.
Mantan Manajer Komunikasi Korporat Bank Bali ini divonis menderita penyakit lupus pada 1999. Dian yang dulu dikenal sebagai wanita karier yang ceria dan ramah, sehingga amat populer di kalangan wartawan perbankan, sempat merasa hidupnya terhenti di usia 34 tahun itu.
Namun, berkat daya juangnya yang tinggi, plus kesabaran dan kepasrahan, ia mampu menjalani puluhan kali terapi dan periode pengobatan yang panjang, melelahkan, menguras dana dan tenaga, serta sangat menyakitkan.
“Saya tidak pernah mimpi jadi orang buta. Tahun 1999 itu saya sering menangis karena tidak bisa melihat lagi,” ujar perempuan yang kini berusia 45 tahun ini terus terang.
Kini, selain masih berupaya melawan keganasan lupus yang sewaktu-waktu kambuh, ia mengelola yayasan yang ditujukan untuk membantu sesama penderita lupus lainnya, yakni Syamsi Dhuha Foundation.
Wanita bernama lengkap Dian Wahdini Syarief ini mengaku sebelum divonis sakit ia merasa dalam kondisi sehat. Sebelumnya, ia tidak pernah mengalami sakit yang berat. Bahkan karier sarjana farmasi dari Institut Teknologi Bandung (lulus 1990) ini sedang menanjak.
Namun, musibah tak ada yang menyangka. Bermula dari bintik-bintik merah pada suatu hari di bulan Ramadan 1999, siapa sangka itulah sinyal terjadinya pendarahan di kulit akibat serangan lupus (Systemic Lupus Erythematosus).
Putri pasangan dokter Prof. Dr. dr. Rudy Syarief dan dr. Oemmy R. Syarief, MMBAT ini mengungkapkan, awalnya ia mengira bintik-bintik merah itu sebagai masalah kulit biasa meskipun ia merasa ada keanehan karena wajahnya terlihat memucat.
Dokter yang ia datangi menyatakan bintik-bintik merah itu bukanlah penyakit kulit biasa meskipun Dian merasa sehat. Ia pun disarankan memeriksakan darahnya ke laboratorium. Setiba di rumah, Dian diberitahu petugas laboratorium bahwa kadar trombositnya tinggal 10%. Menjelang subuh, ia memutuskan dirawat di rumah sakit karena kata dokter jika trombositnya turun sedikit lagi, pembuluh darahnya akan pecah.
Barulah pada keesokan harinya, sumsum tulang belakang Dian diambil untuk dilakukan pengecekan ulang. Hasilnya adalah sesuatu yang mengubah drastis jalan hidupnya, yakni positif terserang lupus (walaupun ketika itu Dian mengaku tak begitu tahu apa itu lupus dan seberapa bahayanya penyakit ini).
Pada 1999 itu juga, karena kondisinya yang kian memburuk lantaran lupus menyerang otaknya, Dian harus menjalani 6 kali bedah otak yang berisiko lumpuh dan kehilangan ingatan. Pada tahun itu juga, Dian melakukan operasi pengangkatan empedu.
Lantaran tidak tahan dengan terapi hidrosteroid yang harus dijalaninya, ia pun kehilangan 95% penglihatannya. Inilah pukulan yang terberat yang dirasakan Dian. Namun sebagai seorang profesional di bank, Dian ingat dengan konsep positive thinking. Saat itu ia berusaha tetap berpikir positif meskipun merasa terpukul karena menjadi orang dengan low vision.
“Ketika saya tidak bisa melihat, saya positive thinking saja dan mengikuti pelatihan untuk dapat beraktivitas meskipun tidak lagi bisa melihat,” ujar wanita kelahiran Bandung, 21 Desember 1965, ini.
Dian pun belajar untuk hidup tanpa penglihatan. Ia belajar orientasi mobilitas dan huruf Braile seperti yang dipelajari orang buta pada umumnya. Namun, akhirnya ilmu membaca huruf Braile tersebut tidak ia gunakan.
“Braile lebih untuk melatih kepekaan. Ekspektasi saya sebagai orang yang pernah membaca normal adalah dapat membaca bacaan-bacaan yang sama dengan yang dibaca orang normal, misalnya Kompas. Jadi, saya lebih banyak minta dibacakan,” ujarnya.
Sebenarnya dua tahun setelah divonis menderita lupus, Dian sempat ditawari kembali bekerja di Bank Bali. Pihak Bank Bali tidak mempermasalahkan kondisi fisik Dian. Mereka masih berharap Dian dapat menjadi salah satu anggota think tank Bank Bali.
Namun tawaran tersebut ditolaknya, karena Dian merasa hidup yang ia jalani setelah divonis menderita lupus adalah bonus dari Tuhan. Terlebih setelah ia mampu bertahan meskipun telah mengalami 6 kali bedah otak. Karena itu, ia merasa sayang jika dirinya hanya mengerjakan hal yang sudah pernah dikerjakannya sebelum sakit.
“Kalau bekerja di perusahaan, itu kan lebih untuk perusahaan itu saja. Sedangkan saya ingin bekerja untuk banyak orang. Saya ingin bekerja untuk CEO of The Universe, yaitu Tuhan. Rasanya itu sesuai panggilan hati,” ujar Dian.
Menurut Dian, lima tahun pertama sakitnya lebih banyak ia gunakan untuk berjuang hidup. Saat itu ia banyak mengalami pendarahan dan peradangan. “Saya harus bolak-balik ke rumah sakit untuk operasi, terapi, konsultasi dan fisioterapi. Di tahun 1999 itu juga saya sempat tidak bisa jalan,” ujar wanita yang telah menjalani hampir 20 kali operasi sepanjang mengidap penyakitnya itu.
Kondisi kesehatan Dian baru lumayan stabil pada 2004. Pada tahun itu Dian mendirikan Syamsi Dhuha Foundation (SDF). Kehadiran yayasan ini merupakan wujud syukur Dian karena masih diberi kesempatan untuk hidup oleh Tuhan.
“Saya ingin berbagi pengalaman, memfasilitasi orang lain, dan sebagainya. Inti SDF adalah pendampingan, memfasilitasi dan pemberdayaan,” ujarnya. Upayanya ini diapresiasi dunia. Baru-baru ini, ia memperoleh penghargaan Lifetime Achievement Award dari penyelenggara the 9th International Congress on Systemic Lupus Erythematosus di Vancouver, British Columbia, Kanada.

Di sini ia juga menjadi salah satu panelis dalam diskusi panel yang melibatkan tiga negara yaitu Kanada, Inggris dan Indonesia. Dian membawakan materi berjudul How to Make Friends with Lupus.
Di dalam negeri pun, Dian kerap dipanggil untuk sharing pengalaman dan motivasi di lingkungan odapus (orang dengan penyakit lupus) dan beberapa perusahaan.
Dalam perjuangannya menghadapi penyakit lupus, Dian mengaku mengalami dua kali depresi yang hebat, yaitu pada 2001 dan 2007. Tahun 2001, Dian merasa depresi karena merasa tidak kunjung sembuh dari penyakitnya.
“Sebenarnya saya semangat berobat dan terapi karena punya harapan ingin sembuh dan bisa melihat kembali. Tapi ketika hal itu tidak terjadi, saya pun menjadi down,” ujar wanita yang berobat hingga ke Mount Elizabeth Hospital di Singapura ini.
Pada 2007, kondisi kesehatan Dian kembali menurun drastis dan ia harus keluar-masuk rumah sakit, padahal sebelumnya kondisinya sudah stabil. Saat itu ia tidak siap menerima kondisi fisiknya yang tiba-tiba menurun lagi.
Pada tahun itu Dian melakukan operasi radang rongga hidung, karena ia tidak dapat bernapas dengan baik hingga berbulan-bulan. “Tahun itu saya bernapas lewat mulut. Padahal kalau bernapas lewat mulut, saya batuk. Jadi saya tidak bisa tidur dan berat badan turun hingga 8 kg,” katanya menggambarkan penderitaannya.
Saat itu ia merasa agak trauma dengan pemeriksaan-pemeriksaan di rumah sakit. “Tahun itu sebenarnya kondisi fisik saya masih lebih baik dibandingkan tahun 1999. Namun, kondisi mental saya justru lebih buruk. Sebab, di tahun 1999 semangat saya untuk sehat kembali justru lebih besar,” ujarnya.
Menurut Dian, orang yang paling memberikan inspirasi baginya dalam menghadapi apa yang ia alami adalah ibunya sendiri. Ia menceritakan, saat masih kuliah di ITB, ibunya mengalami sakit kanker payudara hingga harus melakukan operasi pengangkatan payudara.
Saat itu Dian sering menunggui ibunya di rumah sakit. Ia lihat ibunya sangat tabah dan tidak mengeluh. Akhirnya, operasi tersebut berhasil dan ibu Dian pun sembuh dan masih segar-bugar hingga sekarang. “Ibu baru menangis setelah sadar dari operasi. Mungkin saat itu ia merasa sakit ya,” ujarnya.
Setelah kembali dari rumah sakit, ibu Dian tekun berlatih menggerakkan tubuhnya. Dari sini Dian belajar bahwa jika kita mengalami sakit seberat apa pun, kita tidak perlu menangis dan bersedih secara berlebihan. Semuanya dihadapi saja dengan tegar.
“Seberat apa pun kita harus ikhtiar, entah terapi, melatih diri atau apa pun, yang penting harus bangkit lagi. Akhirnya, ibu saya bisa melewati masa sulitnya,” ujarnya.
Selain ibunya, Dian pun memperoleh inspirasi dari kisah Helen Keller yang buta, tuli dan bisu.“Saya ini kan hanya tidak dapat melihat, tidak seperti dia (Helen) yang tidak bisa melihat, mendengar maupun bicara,” katanya.
Menurut Dian, dukungan suami, orang tua, dan sahabat-sahabatnya untuk dirinya pun sangat besar. Jika Dian harus menjalani operasi atau sedang merasakan sakit, suaminya biasa menghiburnya dengan mengatakan, ”Dosa kamu sedang dicuci”.
Sementara ayahnya pernah mengatakan, jika kita tidak bisa melihat dengan mata, nanti kita akan bisa “melihat” dengan indra yang lain. “Adapun ibu saya bilang, apa pun kondisi kamu, kamu harus tetap bisa bermanfaat buat diri kamu dan buat orang lain,” ujar anak kedua dari lima bersaudara ini. Karena itu, Dian tidak ingin menyia-nyiakan hidupnya.
Saat ini, meski hidup bersama lupus, kegiatan rutin Dian lebih berwarna. Seperti orang normal lainnya, sekarang ia rutin berenang setidaknya seminggu sekali selama tidak dalam kondisi pasca-operasi.
Ia menyebutkan, berenang merupakan salah satu terapi terbaik untuk penderita lupus. Ia biasanya memilih kolam yang simpel, terutama yang pernah dikunjunginya saat ia masih bisa melihat.
“Saya biasa ambil posisi di pinggir agar tidak tertabrak pengguna kolam yang lain. Di situ saya berenang bolak-balik saja,” ujarnya. Ia juga masih sering melakukan hobinya memasak. Dian mengaku ia tetap dibantu untuk urusan yang satu ini.
“Saya mencampur bumbu, mencicipi, dan sebagainya. Tapi terkadang saya perlu diingatkan agar tidak terlalu mendekatkan wajah ke masakan,” ujarnya sambil tertawa. Ia kini juga menggunakan beberapa alat bantu dalam kesehariannya seperti telepon seluler yang dilengkapi software untuk menyuarakan SMS dan talking watch.
“Jadi saya bisa mendengar SMS, bukan membaca SMS,” kata wanita yang pernah menjadi penyiar radio semasa kuliah ini.
Bagi orang-orang yang mendapat cobaan seperti dirinya, Dian berpesan, kita semua harus menyadari bahwa hidup adalah karunia. “Kita sebagai manusia harus memanfaatkan setiap detik kehidupan kita. Karena itu, kita harus punya bekal yang cukup. Tidak mungkin kita diam saja kalau kita menyadari bahwa setiap detak jantung dan helaan napas kita itu luar biasa berharganya,” ujarnya.
Dian menekankan motivasi hidup itu terutama harus datang dari diri sendiri. Dan hal itu harus menjadi kekuatan dalam diri. “Orang lain itu hanya memotivasi kita. Kita juga harus punya tujuan hidup,” katanya.
Saat ini, Dian mengikuti tafakur setiap minggu. “Itu untuk mengisi spiritual. Manusia, bila fisiknya sedang sakit, bisa pergi ke dokter. Tapi siapakah yang dapat menyembuhkan jiwa yang sakit?” ujarnya lagi.
Sumber: SWAsembada, syamsidhuhafoundation.org

No comments:

Post a Comment

Donate

 
Original Design by Ashoka Indonesia Modified by Ido